Keamanan Keluarga
Sering kali ketika menghadapi tekanan, ketakutan terbesar jurnalis adalah keselamatan keluarga. Memetakan potensi risiko yang akan dialami keluarga perlu dilakukan. Pada dekade 1970;-an hingga awal 1980;-an, di negara seperti Guatemala, anggota keluarga dan kerabat sering kali menjadi sasaran target. Kondisi ini juga terjadi di Iraq pada masa Saddam Husein.
Memahami latar belakanng atau sejarah keluarga diperlukan dalam kondisi khusus. Di Indonesia relasi dan potensi kekerasan lanjutan karena latar belakang keluarga ini perlu dilakukan untuk memetakan dampak pada keluarga. Konsultasi dengan ahli pengamanan di tingkat lokal, rekan kerja, pembela HAM perlu dilakukan. Khusus bagi wartawan asing yang bertugas di Indonesia, berkoordinasi dengan tempatnya bekerja, dan diplomat perwakilan negara asal sangat penting.
Perlu berhati-hati dalam memposting foto atau informasi tentang pribadi atau keluarga di sosial media seperti Facebook, Twitter dan Instagram. Karena biasanya pelaku intimidasi akan berupaya mencari informasi tentang diri pribadi jurnalis dan keluarganya. Sebaiknya mengatur ulang informasi tentang pribadi atau keluarga di sosmed tidak untuk publik dan mengatur tagging foto melalu mekanisme persetujuan.
Selain itu, langkah terbaik adalah meminta keluarga menutup informasi tertentu di sosmed mereka, seperti informasi tentang relasi antarkeluarga. Sebaiknya tidak membagi informasi sensitif terkait pekerjaan pada anggota keluarga. Keluarga yang tidak mendapat informasi tentang aktivitas peliputan atau investigasi, biasanya tidak akan menjadi target sasaran pelaku untuk mengorek informasi. Meski begitu patut diwaspadai, potensi keluarga menjadi incaran untuk meneror dan menghalangi jurnalis melanjutkan mencari informasi penting atau sensitif.
Ketika jurnalis mengalami ancaman atau kekerasan saat peliputan, pendampingan secara khusus pada keluarga jurnalis perlu dilakukan secara khusus. Pada beberapa kasus kekerasan jurnalis di Indonesia, keluarga korban juga mengalami intimidasi atau sebaliknya menjadi pintu masuk “suap”. Kondisi ini dapat melemahkan posisi jurnalis, termasuk jurnalis yang sedang memperjuangkan memproses kasus kekerasannya secara hukum.